Sejawat
2:14 AM
Ada ketika sebuah pertemanan itu, diuji. Melewati jalan
terjal, yang memungkinkan keretakan. Menempuh setapak licin yang berpeluang
menggelincirkan. Ada ketika sebuah pertemanan itu, diserang. Menggempur
pertahanan yang entah bagaimana, dibayangkan. Semua peluang apapun yang
menghancurkan, merobohkan, dan mencipta kepingan itu pasti akan datang. Hanya
saja, tidak ada yang tau kapan pengintaiannya berakhir, dan bagaimana ia menimbulkan
nestapa di masing - masing relung, dalam sebuah pertemanan.
Aku, disini sedang berada di lingkarannya. Mengalami
pahitnya sebuah rasa. Menoreh sebuah luka, di dinding yang kurasa, mulai rapuh
adanya. Ketika melodi muncul berganti sunyi, hanya ada mulut yang terkatup di
setiap derap yang mendekat. Ketika sebuah senyum terganti rintihan, hanya ada
sayat pilu tergetarkan, di setiap detik yang berdentang. Akankah, aku mampu?
Dan apakah perekat itu masih bernama kita?
Diam - diam aku mulai berbicara dengan air mata. Menghembuskan
resah di bawah redup awan yang tergantung. Melukis wajah dalam bayangan, air.
Tahukah, hati kini melekat pada tiga bagian yang awalnya hanya satu. Mencoba
melangkah untuk menyatukan, namun hanya ada jurang yang semakin terasa dalam.
Aku dengannya. Aku dengan mereka. Dan aku dengan mereka bersama mereka.
Kuteraiki setiap langkah yang terpelucuti amarah. Menggaungi setiap hati tak
terperi. Bagaimana bisa, kekuatan ikat ini
terkalahkan dengan sebuah retak bernama kesalahan?
Hari ini aku masih bergeming. Mengulik dasar ingatan.
Mengais sebuah sebab yang belum terang kutemukan. Dengannya aku membuat
kesalahan. Dengannya aku menimbulkan penyesalan. Dan dengannya air mataku
mengatakan kesakitan. Aku bagiankan ia yang terbaik. Aku bagiankan ia yang
terindah. Tapi bagaimana bisa, ini terjadi? Aku tidak mengetahui kesakitannya
yang katanya, karenaku.
Belum tenggelam
akan resahku bersamanya, kini kembali terjungkir ikat oleh dia bersama mereka. Ketika
semua tengah bersatu, membantu. Tiba – tiba ulikan
sipenmaru itu menguak. Menciptakan satu lubang yang semakin menganga. Menyobek
duatuan itu menjadi tiga. Aku tidak paham betul. Dua sisi yang berbeda alurnya.
Saling berebut mempertahankan posisi, kebenaran. Bagaimana aku harus melihat
ini, meluangkan fikirku untuk sebuah solusi. Ketika aku pun tengah dirundung
sesal yang sama, karenanya. Dari sisi mana aku harus melihat, supaya nganga ini
tak semakin besar. Dan luka ini segera mongering?
Semiris inikah? Aku tidak mengerti. Hanya saja aku berharap, bukan hubungan
ini yang berujung tersakiti. Mungkin hanya soal bertoleransi. Membiarkan detik – detik waktu yang mengguliri,
untuk memberikannya sebongkah ruang berpikir. Jika cinta dalam dada itu muncul kembali, aku
yakin sekeras apapun amarah memberontak, ia pasti akan tetap menang telak. Dan serpihan
lima karakter ini akan kembali terekat, mencuat, sesempurna pelangi yang
terbias di birunya langit pagi. Bersabarlah, hati.
0 comments